Oleh: Anjar Raharyanti (101014056)
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar
Belakang
Saat
ini, kegiatan belajar efektif dan efisien menjadi tabu bagi pelajar dan
mahasiswa karena faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya. Padahal,
belajar (terutama belajar pengetahuan) merupakan tanggung jawab pelajar/mahasiswa.
Menelaah bahwa suatu kegiatan belajar dapat berlangsung secara efektif dan
efisien dipengaruhi faktor-faktornya.
Keadaan
seperti dijelaskan di atas berbanding lurus dengan pandangan conditioning classic theory dimana
belajar merupakan suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya
syarat-syarat ‘conditions’ yang
kemudian menimbulkan respons. Selain itu, penulis juga membandingkan sudut
padang Ivan Petrovich Pavlov dengan pengertian belajar menurut penulis. Yakni,
belajar adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan individu yang bertujuan untuk
memperoleh perubahan tingkah laku yang relatif menetap (hasil pengalaman dan
interaksi dengan lingkungan). Sehingga, teori Ivan Pavlov yang penulis bahas
dapat menjadi bahan teori bagi penulis selaku calon konselor untuk
mengaplikasikannya secara maksimal.
Hal
inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menyusun makalah yang berjudul “Classical
Conditioning Theory (Teori Ivan Petrovich Pavlov)”. Selain itu, penyusunan
makalah ini tidak terlepas pada pemenuan tugas Mata Kuliah Teori Pembelajaran.
II. Tujuan
Pembahasan
Tujuan Umum :
Memahami
lebih jauh Teori Ivan Petrovich Pavlov (biasa disebut dengan Teori Kondisional
Klasik) sehingga penulis dan pembaca (khususnya penulis dan rekan mahasiswa)
mampu untuk mengaplikasikan dan mengembangkan teori ini bila perlu.
Tujuan Khusus :
1. Mengetahui
biografi Ivan Petrovich Pavlov
2. Memahami
observasi empiris (eksperimental) teori belajar Ivan Petrovich Pavlov
3. Mengerti
dan memahami konsep teoritis utama Ivan Petrovich Pavlov
4. Memahami
perbandingan antara pengkondisian klasik dan instrumental
5. Mengetahui
riset terbaru tentang pengkondisian klasik
6. Memahami
learned helpessness
7. Mengetahui
penjelasan teoritis lain tenatng pengkondisian klasik
8. Memahami
irelevansi, hambatan laten dan superconditioning
9. Memahami
aversi cita rasa yang dikondisikan (Efek Garcia)
10. Memahami
eksperimen John B. Watson dengan Little Albert
11. Mengerti
dan memahami aplikasi pengkondisian klasik untuk psikologi klinis dan
pengobatan
12. Memahami
pendapat Pavlov dan aplikasi teorinya pada pendidikan
13. Memahami
evaluasi teori Pavlov
III. Ruang
Lingkup Pembahasan
1. Siapa
Ivan Petrovich Pavlov?
2. Bagaimana
observasi empiris teori belajar Ivan Petrovich Pavlov?
3. Bagaimana
konsep teoritis utama Ivan Petrovich Pavlov?
4. Bagaimana
perbandingan antara pengkondisian klasik dan instrumental?
5. Bagaimana
riset terbaru tentang pengkondisian klasik?
6. Bagaimana
learned helpessness?
7. Bagaimana
penjelasan teoritis lain tentang pengkondisian klasik?
8. Apa
sajakah irelevansi, hambatan laten dan superconditioning?
9. Apa
sajakah aversi cita rasa yang dikondisikan (Efek Garcia)?
10. Bagaimana
eksperimen John B. Watson dengan Little Albert?
11. Apa
saja aplikasi pengkondisian klasik untuk psikologi klinis dan pengobatan?
12. Apa
pendapat Pavlov dan aplikasi teorinya pada pendidikan?
13. Apa
saja evaluasi teori Pavlov?
IV. Manfaat
Pembahasan
1. Dapat
mengetahui biografi Ivan Petrovich Pavlov
2. Mampu
memahami observasi empiris teori belajar Ivan Petrovich Pavlov
3. Mampu
mengerti dan memahami konsep teoritis utama Ivan Petrovich Pavlov
4. Dapat
memahami perbandingan antara pengkondisian klasik dan instrumental
5. Dapat mengetahui riset terbaru tentang
pengkondisian klasik
6. Mampu
memahami learned helpessness
7. Dapat
mengetahui penjelasan teoritis lain tenatng pengkondisian klasik
8. Mampu
memahami irelevansi yang dipelajari, hambatan laten dan superconditioning
9. Mampu
memahami aversi cita rasa yang dikondisikan (Efek Garcia)
10. Dapat
memahami eksperimen John B. Watson dengan Little Albert
11. Mampu
mengerti dan memahami aplikasi pengkondisian klasik untuk psikologi klinis dan
pengobatan
12. Agar
dapat memahami pendapat Pavlov dan aplikasi teorinya pada pendidikan
13. Memahami
evaluasi teori Pavlov
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Biografi Ivan Petrovich Pavlov
Ivan
Petrovich Pavlov (1849-1936) adalah seorang behavioristik terkenal dengan teori
pengkondisian asosiatif stimulus-respons dan hal inilah yang dikenang darinya
hingga kini. Ivan Petrovich Pavlov, Sarjana Rusia ini dilahirkan di
Rusia pada tanggal 14 September 1849 dan meninggal di Leningrad pada tanggal 27
Februari 1936. Ia
tidak pernah memiliki hambatan serius
dalam sepanjang kariernya meskipun terjadi kekacauan
dalam revolusi Rusia. Sebenarnya ia
bukan seorang sarjana psikologi dan ia pun tidak berkeinginan disebut sebagai
ahli psikologi, karena ia adalah seorang sarjana ilmu faal yang fanatik. Cara
berpikirnya adalah sepenuhnya cara berpikir ahli ilmu faal, bahkan ia sangat
anti terhadap psikologi karena dianggapnya kurang ilmiah. Dalam
penelitian-penelitiannya ia selalu berusaha menghindari konsep-konsep maupun
istilah-istilah psikologi. Sekalipun demikian, peranan Pavlov dalam psikologi
sangat penting, karena studinya mengenai refleks-refleks merupakan dasar bagi
perkembangan aliran psikologi behaviorisme.
Pandangannya
yang paling penting adalah bahwa aktivitas psikis sebenarnya tidak lain
daripada rangkaian-rangkaian refleks belaka. Karena itu, untuk mempelajari
aktivitas psikis (psikologi) kita cukup mempelajari refleks-refleks saja.
Pandangan yang sebenarnya bermula dari seorang tokoh Rusia lain bernama I.M.
Sechenov. Sechenov yang banyak mempengaruhi Pavlov ini, kemudian dijadikan
dasar pandangan pula oleh John B. Watson di Amerika Serikat dalam aliran
Behaviorismenya setelah mendapat perubahan-perubahan seperlunya.
Dasar
pendidikan Pavlov memang ilmu faal. Mula-mula ia belajar ilmu faal hewan dan
kemudian ilmu kedokteran di Universitas St. Petersburg. Pada tahun 1883 ia
mendapat gelar Ph.D. setelah mempertahankan tesisnya mengenai fungsi otot-otot
jantung. Kemudian selama dua tahun ia belajar di Leipzig dan Breslau. Pada
tahun 1890 ia menjadi profesor dalam farmakologi di Akademi Kedokteran Miilter
di St. Petersburg dan Direktur Departemen Ilmu Faal di Institute of
Experimental Medicine di St. Petersburg. Antara 1895 – 1924, ia menjadi
profesor ilmu faal di Akademi Rusia di Leningrad. Pada 1904, ia mendapat Hadiah
Nobel untuk penelitiannya tentang pencernaan (bidang fisiologi pencernaan).
Pavlov memulai karier keduanya dengan mendalami studi
refleks psikis pada usia 50 tahun, sedangkan dia mengawali karier ketiganya
dengan mendalami studi aplikasi karyanya pada pengkondisian penyakit mental
pada usia 80 tahun. Penemuan Pavlov yang sangat menentukan dalam sejarah
psikologi adalah hasil penyelidikannya tentang refleks berkondisi (conditioned
reflects). Dengan penemuannya ini Pavlov meletakkan dasar-dasar
Behaviorisme, sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi penelitian-penelitian
mengenai proses belajar dan pengembangan teori-teori tentang belajar. Bahkan
Amerika Psychological Association (A.P.A.) mengakui bahwa Pavlov adalah orang
yang terbesar pengaruhnya dalam psikologi modern di samping Freud.
II.
Observasi Empiris Ivan Petrovich Pavlov
Pengkondisian Klasik
atau Classical conditioning
ditemukan secara kebetulan oleh Pavlov di dekade 1890-an. Saat
itu Pavlov sedang mempelajari bagaimana air liur membantu proses pencernaan
makanan. Jalan
eksperimen tentang refleks berkondisi yang dilakukan Pavlov adalah sebagai
berikut, Pavlov
menggunakan seekor anjing sebagai binatang percobaan. Anjing itu diikat dan
dioperasi pada bagian rahangnya sedemikian rupa, sehingga tiap-tiap air liur
yang keluar dapat ditampung dan diukur jumlahnya.
Pavlov
kemudian menekan sebuah tombol dan keluarlah semangkuk makanan di hadapan
anjing percobaan. Sebagai reaksi atas munculnya makanan, anjing itu
mengeluarkan air liur yang dapat terlihat jelas pada alat pengukur. Makanan
yang keluar disebut sebagai perangsang tak berkondisi (unconditioned
stimulus) dan air liur yang keluar setelah anjing melihat makanan disebut
refleks tak berkondisi (unconditioned reflects), karena setiap anjing
akan melakukan refleks yang sama (mengeluarkan air liur) kalau melihat rangsang
yang sama pula (makanan).
Kemudian
dalam percobaan selanjutnya Pavlov membunyikan
bel setiap kali ia hendak mengeluarkan makanan. Dengan demikian, anjing akan
mendengar bel dahulu sebelum ia melihat makanan muncul di depannya. Percobaan ini dilakukan berkali-kali dan pada
saat yang sama keluarnya air liur diamati secara terus-menerus. Mula-mula air
liur hanya keluar setelah anjing melihat makanan (refleks tak berkondisi),
tetapi lama-kelamaan air liur sudah keluar ketika anjing baru mendengar bel. Keluarnya
air liur setelah anjing mendengar bel disebut sebagai refleks berkondisi (conditioned
reflects), karena refleks itu merupakan hasil latihan yang terus-menerus
dan hanya anjing yang sudah mendapat latihan itu saja yang dapat melakukannya.
Bunyi bel jadinya rangsang berkondisi (conditioned reflects). Kalau
latihan itu diteruskan, maka pada suatu waktu keluarnya air liur setelah anjing
mendengar bunyi bel akan tetap terjadi walaupun tidak ada lagi makanan yang
mengikuti bunyi bel itu. Dengan perkataan lain, refleks berkondisi akan
bertahan walaupun rangsang tak berkondisi tidak ada lagi.
Pada
tingkat yang lebih lanjut, bunyi bel didahului oleh sebuah lampu yang menyala,
maka lama-kelamaan air liur sudah keluar setelah anjing melihat nyala lampu walaupun
ia tidak mendengar bel atau melihat makanan sesudahnya. Demikianlah satu
rangsang berkondisi dapat dihubungkan dengan rangsang berkondisi lainnya
sehingga binatang percobaan tetap dapat mempertahankan refleks berkondisi
walaupun rangsang tak berkondisi tidak lagi dipertahankan.
Prosedur Training : CS US UR
Demonstrasi
pengkondisian : CS CR
Kesimpulan
yang didapat dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya tidak lain
daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi
setelah adanya proses kondisioning (conditioning process) di mana
refleks-refleks yang tadinya dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak
berkondisi lama-kelamaan dihubungkan dengan rangsang berkondisi.
Eksperimen yang dilakukan oleh pavlov
menggunakan anjing sebagai subyek penelitian. Berikut adalah gambar dari experimen Pavlov.
Berikut
adalah tahap-tahap eksperimen dan penjelasan dari gambar diatas:
1.
Gambar pertama. Dimana anjing, bila diberikan
sebuah makanan (UCS) maka secara otonom anjing akan mengeluarkan air liur
(UCR).
2.
Gambar
kedua. Jika
anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak merespon atau mengeluarkan air liur.
3.
Gambar
ketiga. Sehingga
dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan (UCS) setelah diberikan
bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan air liur
(UCR) akibat pemberian makanan.
4.
Gambar
keempat. Setelah
perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka ketika anjing mendengar
bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom anjing akan memberikan
respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR).
Ada 4 prinsip utama dalam eksperimen
Ivan Pavlov, antara lain :
1.
Fase
Akuisisi
Fase akuisisi merupakan
fase belajar permulaan dari respons
kondisi. Sebagai contoh, anjing ‘belajar’
mengeluarkan air liur
karena pengkondisian suara
lonceng. Beberapa faktor dapat mempengaruhi kecepatan conditioning
selama fase akuisisi. Faktor yang paling penting adalah urutan dan waktu
stimuli. Conditioning terjadi paling cepat ketika stimulus kondisi
(suara lonceng) mendahului stimulus utama (makanan) dengan selang waktu setengah detik. Conditioning memerlukan waktu lebih
lama dan respons yang terjadi
lebih lemah bila dilakukan penundaan yang lama antara pemberian stimulus
kondisi dengan stimulus utama. Jika stimulus kondisi mengikuti stimulus utama,
sebagai contoh, jika anjing menerima makanan sebelum lonceng berbunyi maka conditioning jarang terjadi.
2.
Fase
Eliminasi (Extinction)
Dalam
ekperimen ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku anjing agar ketika bunyi
bel di berikan ia akan merespon dengan mengeluarkan air liur walapun tanpa
diberikan makanan. Karena pada awalnya, anjing tidak merespon apapun ketika
mendengar bunyi bel. Jika
anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel dan kemudian
mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa makanan. Maka
kemampuan stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan respons (air liur)
akan hilang. Hal ini disebut dengan extinction
atau penghapusan.
3. Fase
Generalisasi
Setelah
seekor hewan telah ‘belajar’ respons
kondisi dengan satu stimulus, ada kemungkinan juga ia merespons stimuli
yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika seorang anak digigit oleh seekor
anjing hitam besar, anak tersebut
bukan hanya takut kepada anjing tersebut, namun juga takut
kepada anjing yang lebih besar. Fenomena ini disebut generalisasi. Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan
generalisasi yang kurang intens. Sebagai
contoh, anak tersebut
ketakutannya menjadi berkurang terhadap anjing yang lebih kecil.
4. Fase
Diskriminasi
Kebalikan dari generalisasi adalah
diskriminasi. Kalau
generalisasi merujuk pada tendensi untuk merespons sejumlah stimuli yang
terkait dengan respons yang dipakai selama training. Diskriminasi mengacu pada tendensi untuk merespons
sederetan stimuli yang amat terbatas atau hanya pada stimuli yang digunakan
selama training saja. Ketika seorang individu
belajar menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus dan tidak dari stimulus yang sama namun kondisinya berbeda. Sebagai contoh,
seorang anak memperlihatkan respons takut pada anjing galak yang bebas, namun mungkin memperlihatkan rasa
tidak takut ketika seekor anjing
galak diikat atau terkurung dalam kandang.
III.
Konsep Teoritis Utama Classical Conditioning Theory
Para
ahli psikologi dalam rumpun behaviorisme ingin meneliti psikologi secara
objektif. Mereka berpendapat bahwa kesadaran merupakan hal yang dubious (sesuatu yang tidak dapat diobservasi
secara langsung dan nyata).
Menurut
Ivan Pavlov, aktivitas organisme dapat dibedakan atas :
1.
Aktivitas
yang bersifat reflektif
Aktivitas organisme
yang tidak disadari oleh organisme yang bersangkutan. Organisme membuat respons
tanpa disadari sebagai reaksi terhadap stimulus yang mengenainya.
2.
Aktivitas
yang disadari
Aktivitas yang disadari
merupakan aktivitas atas kesadaran organisme yang bersangkutan. Ini merupakan
respons atas dasar kemauan sebagai suatu reaksi terhadap stimulus yang
diterimanya. Ini berarti bahwa stimulus yang diterima oleh organisme itu sampai
di pusat kesadaran dan barulah terjadi suatu respons. Dengan demikian maka
jalan yang ditempuh oleh stimulus dan respons atas dasar kesadaran lebih panjang
apabila dibandingkan dengan stimulus dan respons yang tidak disadari atau
respons yang reflektif.
Menurut
Pavlov, dua proses dasar yang mengatur semua aktifitas sistem saraf sentral
adalah excitation (eksitasi) dan inhibition
(hambatan). Pavlov berspekulasi bahwa setiap kejadian di lingkungan berhubungan
dengan beberapa titik di otak dan saat kejadian ini dialami, ia cenderung
menggairahkan atau menghambat aktivitas otak. Pola eksitasi dan hambatan yang
menjadi karakteristik otak ini oleh Pavlov disebut cortical mosaic
(mosaik kortikal), pada satu momen akan menentukan bagaimana organisme
merespons lingkungan.
Stereotip
Dinamis
Ketika
kejadian terjadi secara konsisten dalam suatu lingkungan,respons terhadap
lingkungan yang sudah dikenal akan makin cepat dan otomatis. Ketika ini
terjadi, dynamic stereotype (stereotip dinamis) dikatakan telah
terjadi. Stereotip dinamis adalah mosaik kortikal yang menjadi stabil karena organisme
berada dalam lingkungan yang dapat diprediksi selama periode waktu tertentu
yang lumayan panjang.
Ringkasnya,
kejadian lingkungan tertentu cenderung diikuti oleh kejadian lingkungan
lainnya, dan selama hubungan ini terus terjadi, asosiasi antara keduanya pada
level neural akan menguat.
Iradiasi
dan konsentrasi
Suatu
analyser terdiri dari reseptor indrawi, jalur sensori dari
reseptor ke otak, dan area otak yang diproyeksikan oleh aktivitas sensori. Pada
awalnya terjadi irradiation of excitation (radiasi eksitasi);
eksitasi ini akan meluber ke area otak lain di dekatnya yang dipakai Pavlov
untuk menjelaskan generalisasi.
Penjelasan
Pavlov tentang generalisasi adalah bahwa impuls neural berjalan dari reseptor
indra –dalam kasus ini dari telinga- ke area tertentu di dalam otak yang
bereaksi terhadap nada 2.000-cps. Selain itu, Pavlov mengasumsikan bahwa
eksitasi akan hilanh karena jarak; eksitasi paling kuat terjadi di poinyang
berkorespondensi dengan CS dan paling lemah di area yang paling jauh.
Karenanya, asosiasi bukan hanya terjadi antara CS dan US, tetapi juga dengan
sejumlah stimuli yang berhubungan dengan CS yang direpresentasikan di daerah
otak di sekitarnya. Pavlov juga menunujukkan, melalui generalisasi, bahwa
hambatan juga meluber. Dikrisminasi, atau kemampuan untuk merespons stimuli
terkait secara berbeda, dapat dimunculkan dengan training yang lama atau
penguatan diferensial.
Pengkondisian
Eksitatoris dan Inhibitoris
Pavlov
mengidentifikasi dua tipe umum dari pengkondisian yang berasal langsung
dari iradiasi dan konsentrasi. Yang pertama, excitatory conditioning,
akan tampak ketika pasangan CS-US menimbulkan suatu respons. Conditioned
inhibition tampak ketika training CS menghambat atau menekan suatu
respons. Pavlov berspekulasi bahwa pelenyapan disebabkan oleh munculnya
hambatan setelah CS yang menimbulkan respons itu diulang tanpa suatu penguat.
Tipe
lain dari hambatan yang didokumentasikan oleh Pavlov mengungkapkan bahwa
pengkondisian bukan stimuli yang murni mekanis dan pasti terhadap respons. Eksternal
inhibition (hambatan eksternal) mendeskripsikan efek disruptif yang
terjadi ketika stimulus baru disajikan bersama CS yang sudah ada. Tetapi,
efeknya tidak terbatas hanya pada eksitasi yang dikondisikan. Jika CS adalah
penghambat yang dikondisikan, pengenalanstimulus yang tak terduga bersama
dengan CS yang menghasilkan disinhibition, yang merupakan
disrupsi (gangguan) terhadap hambatan yang dikondisikan. Dengan kata lain, kita
memasangkan satu stimulus baru dengan penghambat yang dikondisikan, penghambat
akan gagal untuk menghambat.
Ringkasan
Pandangan Pavlov tentang Fungsi Otak
Beberapa
hubungan di otak adalah antara stimuli yang tudak dikondisikan dengan respons
yang terkait. Yang disebut pertama adalah yang permanen, dan yang disebut
belakangan adalah temporer dan bervariasi sesuai kondisi lingkungan. Ketika
koneksi temporer itu pertama kali dibentuk di otak, ada tendensi bagi stimulus
yang dikondisikan untuk member efek umum di otak. Yakni, eksitasi yang
disebabkan oleh stimulus yang dikondisikan akan beriradiasi ke bagian lain
dalam otak. Reflects orienting adalah tendensi organisme untuk
memerhatikan atau mengeksplorasi stimuli baru yang muncul di dalam lingkungan mereka.
System Sinyal Pertama dan Kedua
Pavlov menyebut stimuli yang memberi sinyal kejadian
yang penting secara biologis (CS) ini sebagai first signal system
(sinyal system pertama) atau “sinyal realitas pertama”. Pavlov menyebut kata
yang melambangkan realitas itu sebagai “sinyal dari sinyal” atau second
signal system (system sinyal kedua). Sinyal-sinyal yang muncul bisa
diorganisasikan dalam sistem kompleks yang akan memandu banyak perilaku
manusia. Dengan kata lain, proses yang kita lakukan untuk mengembangkan reaksi
terhadap lingkungan adalah sama dengan proses yang kita gunakan untuk bereaksi
terhadap kata atau pikirkan.
IV.
Perbadingan antara Pengkondisian Klasik
dan Instrumental
Pengkondisian klasik
|
Pengkondisian
instrumental
|
Menimbulkan respon dari hewan
|
Tergantung pada respons yang diberikan oleh hewan
|
Bersifat tidak sukarela dan otomatis
|
Bersifat sukarela dan
dikontrol hewan
|
Penguatan dihadirkan kepada hewan setelah
respon dibuat
|
Penguat (US) disajikan untuk menimbulkan respon
|
Memperkuat survival organisme dengan
menciptakan sistem tanda dan simbol yang memungkinkan antisipasi kejadian
yang signifikan
|
Memperkuat survival organisme
melalui pengembangan pola perilaku yang tepat dalam merespons kejadian
signifikan
|
US adalah penguatnya
|
Penguatnya adalah “keadaan yang memuaskan” yang muncul setelah respons
yang benar
|
Sama-sama punya fenomena pemulihan
spontan, generalisasi, diskriminasi, dan penguatan sekunder. Adalah bahwa
mustahil memisahkan pengkondisian klasik dan instrumental secara total. Semua stimuli yang secara konsisten
terjadi sebelum penguat primer, melalui proses pengkondisian klasik, akan
menjadi penguat sekunder.
V.
Riset Terbaru tantang Pengkondisian
Klasik
Dalam analisisnya terhadap pengkondisian, Pavlov menekankan pada
kontiguitas. Yakni, jika CS mendahului US, pada akhirnya CS akan menghasilkan
CR. Ada dua ketidakakuratan yang ada dalam teori Pavlov. Pertama adalah
pendapatnya mengenai CR sebagai versi kecil dari UR; dan kedua adalah
pernyataannya bahwa pelenyapan melibatkan hambatan.
CR tidak selalu merupakan UR
kecil. Pavlov percaya bahwa selama jalannya pengkondisian CS akan
menggantikan US, dan itulah mengapa pengkondisian klasik kadang disebut sebagai
stimulus substitute learning. Diasumsikan
bahwa karena CS bertindak sebagai pengganti (substitute) US, maka CR adalah versi kecil dari UR. Akan tetapi,
studi yang cermat terhadap sifat dari CR menunjukkan bahwa CR seringkali
berbeda dengan UR.
Contoh dari pertentangan CR dan UR
ditemukan ketika obat dipakai sebagai US. Shepard Siegel (1979) mendeskripsikan
serangkaian eksperimen dimana morfin dipakai sebagai US. Salah satu reaksi
terhadap morfin adalah analgesia atau berkurangnya kepekaan terhadap rasa
sakit. Dalam pengaruh morfin, seekor tikus membutuhkan waktu lebih lama untuk
menarik cakarnya dari piring panas daripada tikus yang tidak dikuasai pengaruh
morfin. Karena suntikan mendahului pengalaman merasakan morfin (US), maka
suntikan itu dapat dianggap sebagai CS. Jadi, setelah beberapa kali suntikan
morfin, menyuntik seekor tikus dengan air seharusnya akan mereduksi kepekaan
terhadap rasa sakit. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Ternyata, dalam
situasi yang dideskripsikan diatas, tikus justru lebih peka terhadap rasa
sakit. Yakni, hewan yang sebelumnya disuntik dengan morfin dan kemudian
disuntik dengan air menarik cakar mereka dari
piring panas dengan lebih cepat daripada hewan yang belum pernah
disuntik dengan morfin. CR (meningkatnya kepekaan terhadap rasa sakit)
tampaknya bertentangan dengan UR (penurunan kepekaan terhadap rasa sakit).
Ditemukan bahwa (misalnya, Holland,
1977) bahkan ketika digunakan US yang sama, akan muncul CR yang berbeda-beda
ketika CS yang berbeda dipasangkan dengan US itu. Jelas hubungan antara CR dan
UR adalah lebih kompleks daripada yang diasumsikan Pavlov. Ternyata terkadang
CR mirip dengan UR, terkadang CR membuat organisme bersiap mengantisipasi US,
terkadang CR bertentangan dengan UR.
Pelenyapan melibatkan intervensi.
Pavlov percaya bahwa selama pelenyapan, presentasi CS yang tak diperkuat akan
menghasilkan hambatan yang dikondisikan yang menekan atau mengganti asosiasi
eksitatoris yang telah dipelajari sebelumnya antara CS dan US. Karenanya,
mekanisme teoritis yang mendasari pelenyapan eksperimental dan respons yang
dikondisikan adalah hambatan, bukan eliminasi koneksi CS-US.
Overshadowing
dan Blocking. Pavlov mengamati bahwa jika dia menggunakan satu stimulus
majemuk (gabungan) sebagai CS dan satu komponen dari stimulus tersebut lebih
menonjol daripada komponen lainnya, maka yang komponen paling menonjollah yang
dikondisikan. Fenomena ini disebut Overshadowing.
Fenomena Overshadowing (membayangi)
ini secara teoretis menarik sebab kedua elemen dari stimulus majemuk disajikan
secara berdampingan dengan US, namun pengkondisian hanya dengan hanya terjadi
dalam satu elemen. Banyak riset pengkondisian klasik saat ini didesain untuk
menjelaskan fenomena Overshadowing dan
fenomena blocking.
Pada
1969, Leon Kamin melaporkan serangkaian percobaan penting tentang fenomena yang
disebutnya blocking. Kamin
menggunakan variasi prosedur CER (Conditioned
Emotional Response) untuk menunjukkan konsep blocking.
Blocking, seperti overshadowing,
menunjukkan contoh situasi dimana stimuli dipasangkan sesuai dengan prinsip
pengkondisian klasik namun tidak menimbulkan pengkondisian. Sekali lagi tampak
bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kontiguitas stimulus dalam
pengkondisian klasik.
VI.
Learned Heplessness
Seperti yang kita lihat, Rescorla mengklaim bahwa kelompok kontrol
yang benar-benar acaklah yang akan menciptakan situasi dimana tidak ada
hubungan prediktif antara CS dan US, dan karenanya tidak akan ada
pengkondisian. Rescorla dan peneliti lainnya telah menunjukkan bahwa memang
tidak terjadi pengkondisian dalam kondisi control acak, tetapi mungkin itu
karena mereka terlihat pada jenis perilaku yang salah.
Martin Seligman (1969, 1975) memberikan bukti yang meyakinkan bahwa
hewan sebenarnya telah mempelajari sesuatu yang sangat penting dalam apa yang
oleh Rescorla disebut kondisi kontrol yang benar-benar acak. Dalam analisinya,
Seligman pertama-tama menunjukkan bahwa
dalam eksperimen pengkondisian klasik, organisme adalah tak berdaya (helpless), dan organisme itu mengetahui
bahwa keadaan dirinya adalah tak berdaya. Untuk menunjukkan bahwa hewan belajar
menjadi tak berdaya sebagai hasil dari pengkondisian klasik, Seligman dan
rekannya membalik prosedur eksperimen yang diikuti oleh Kamin dan Rescorla dan
Wagner. Ternyata, pembalikan prosedur eksperimen ini sangat mempengaruhi
perilaku hewan.
Menurut Seligman, dalam pengkondisian klasik seekor hewan
mengetahui dirinya tak berdaya karena kondisinya memang mengharuskan demikian.
Untuk menunjukkan pentingnya kontrol, Seligman dan Maier (1967) melakukan dua
fase eksperimen menggunakan anjing. Menurut Seligman dan Maier, hewan-hewan ini
selama fase 1 studi mengetahui bahwa mereka tak bisa berbuat apa-apa untuk
menghindari setrum, jadi dalam fase 2 mereka tidak mencoba berbuat sesuatu.
Ketika keyakinan bahwa seseorang tidak bisa melakukan apa-apa untuk
menghentikan atau melarikan diri dari situasi yang buruk ini kemudian
digeneralisasikan ke situasi lain, ini dinamakan learned helplessness.
Jadi, ketidakberdayaan yang dipelajari ini tidak disebabkan oleh pengalaman
traumatik perse tetapi juga oleh
ketidakmampuan, atau anggapan dirinya tak mampu, untuk melakukan sesuatu untuk
menghindar. Hewan yang belajar bahwa mereka tidak dapat mengontrol situasi yang
buruk umumnya akan menjadi pasif.
Fenomena learned helplessness
ini ditemukan di banyak spesies hewan, juga pada manusia, dengan
menggunakan US aversif dan yang lainnya. Gejala learned helplessness ini antara lain keengganan untuk melakukan
suatu tindakan untuk mempertahankan penguatan atau untuk menghindari hukuman,
sikap pasif, menarik diri, takut, depresi, dan kepasrahan untuk menerima apapun
yang akan terjadi. Seligman (1975) telah menunjukkan bahwa learned helplessness pada manusia mungkin dialami sebagai depresi
dan mungkin menjadi ciri khas dari individu yang selalu gagal dalam
kehidupannya sehingga mereka akan menjadi putus asa dan akhirnya menyerah
begitu saja.
VII. Teoritis
Lain tentang Pengkondisian Klasik
Pentingnya Perhatian. Nicholas Mackintosh (1975) berteori bahwa
organisasi mencari informasi yang memprediksikan kejadian yang signifikan
secara biologis (yakni,US). Ketika ditemukan petunjuk prediktif, perhatian
semakin diarahkan pada petunjuk itu. Perhatian pada stimuli yang tidak relevan
akan berkurang. Ketika ada banyak petunjuk, petunjuk yang paling prediktif akan
makin terlihat melalui sederetan percobaan belajar; petunjuk yang kurang
prediktif akan diabaikan. Jadi, pandangan Mackintosh didasarkan pada pemrosesan
informasi secara aktif. Perbedaan utama antara pandangan Rescorla-Wagner dengan
Mackintosh adalah bahwa Rescorla-Wagner memandang organisme sebagai penerima
dan pencatat informasi dari lingkungan secara pasif sedangkan Mackintosh
berpendapat sebaliknya. Pandangan Rescorla-Wagner mempresentasikan contoh
modern dari pandangan lama tentang proses belajar yang melihat belajar sebagai
proses mekanis, otomatis, dan asosiatif.
Penjelasan Mackintosh
mengenai blocking berasal dari asumsi bahwa petunjuk yang lebih
prediktif akan mendapat perhatian yang lebih besar. Teori Mackintosh
menjelaskan observasi bahwa blocking akan makin efektif ketika CS
(cahaya) pertama dan CS kedua semakin sering dipasangkan .Teori Rescorla-Wagner
menjelaskan kurangnya pengkondisian pada CS yang baru diperkenalkan dengan
mengatakan bahwa semua pengkondisian yang dapat didukung oleh US telah
“dihabiskan” oleh CS pertama. Jadi, baik Rescorla-Wagner maupun Mackintosh
menjelaskan blocking, namun
keduanya menggunakan asumsi yang berbeda mengenai sifat dari proses belajar.
Suprisingness (keterkejutan). Dalam usaha menjelaskan blocking, Kamin
(1969) berpendapat bahwa ketika US pertama dating, hewan akan terkejut. Jika CS
selalu mendahului US, hewan pelan-pelan belajar untuk memperkirakan adanya US
tak lama setelah CS dihadirkan. Pada akhirnya hewan tak lagi dikejutkan oleh
US, dan tidak ada lagi pengkondisian tambahan. Menurut Karmin, ketika CS
membangkitkan memori tentang US, kejadian US tidak lagi mengejutkan dan tidak
ada alas an untuk belajar apa pun dalam kondisi itu. Jadi , menurut Kamin,
mekanisme yang menjelaskan pengkondisiann klasik adalah keterkejutan.
Blocking mudah
dijelaskan dengan konsep keterkejutan ini. Karena stimulus A memprediksikan
akan adanya US,kejadian US tak lagi mengejutkan pada stimulus B diperkenalkan,
dan karenanya tidak ada pengkondisian pada stimulus B. Menurut Kamin, tidak ada
kejutan berarti tidak ada pengkondisian. Wagner (1969, 1971, 1978)
mengelaborasi dan memperdalam pendapat Kamin bahwa keterkejutan direduksi atau
dihilangkan selama CS membangkitkan ingatan tentang US. Schwartz, Masserman dan
Rob bins (2002) meringkas teori Kamin-Wagner sebagai berikut :
1.
Kita belajar
tentang sesuatu hanya apabila kita memprosesnya secara aktif.
2.
Kita memproses
sesuatu secara aktif hanya ketika sesuatu itu mengejutkan, saat kita belum
memahaminya.
3.
Selama
pengkondisian berlangsung, CS dan US menjadi kurang mengejutkan. Akibatnya
pemrosesan yang kita lakuakan akan berkurang, dan karenanya kita mengurangi
pembelajaran kita terhadap sesuatu itu. (h 104 )
Adalah
munkin untuk menghubungkan pandangan Rescorla-Wagnet dengan pangangan Kamin-
Waner dengan mengasumsikan bahwa perbedaan antara jumlah maksimum dari
pengkondisian yang mungkin terjadi dan jumlah pengkondisian yang sudah terjadi
merefleksikan sejauh man organisme itu dikejutkan oleh datangnya US. Ketika
besarnya pengkondisian yang mungkin itu sama dengan besarnya pengkondisian yang
sudah terjadi, maka tidak ada lagi kejutan. Juga, karena besarnya pengkondisian
yang mungkin itu secara langsung proposional dengan besarnya kejutan, maka
jelaslah bagaimana teorib Kamin-Wagner yang menjelaskan kurva yang
berakselerasi negative yang menjadi cirri proses belajar.
Teori Pengkondisian Klasik Rescorla-Wagner
Teori Rescorla-Wagner
memberikan penjelasan fenomena pengkondisian klasik umum, memberikan beberapa
prediksi yang tak terduga yang relevan dengan pengkondisian klasik, dan
memecahkan beberapa problem penting yang berkaitan dengan teori pengkondisian
klasik.
Teori ini menggunakan
logika simbolis dan matematika sederhana untuk meringkas dinamika belajar.
Rescorla dan Wagner mengasumsikan bahwa sifat dari US akan menentukan level
maksimum, atau asympotik, dari pengkondisian yang dapat dicapai. Level maksimum
dilambangkan dengan λ (lambda).
Kemudian, belajar
asosiatif yang yang diterima sebelum
percobaan spesifik n didesain oleh Vn-1;
dan perubahan dalam belajar karena pengkondisian percobaan n disimbolkan
dengan ΔVn. Simbol Δ (delta) menunjukkan perubahan dalam V.
Terakhir, teori
Rescola-Wagner memuat dua komponen yang merujuk pada “condotionability” (kondisionabilitas) dari pasangan CS dan US
tertentu. Koefisien α (alpha) adalah kekuatan asosiatif potensial dari CS
tertentu. Suara keras, misalnya, akan memberi nilai α daripada suara rendah
atau tak terdengar. Koefisien β (beta) adalah kekuatan asosiatif potensial dari
US spesifik. Setrum listrik yang kuat akan menimbulkan efek penjauhan yang lebi
dramatis daripada daya setrum kecil, dan karenanya memiliki nilai β yang lebih
besar.
Jika kita menempatkan
semua komponen ini bersama-sama untuk CS yang tea dispesifikasikan (CSA)
dan US yang dispesifikasikan (USA), kita mendapatkan persamaan:
ΔVn = αAβA (λ
-Vn-1)
Persamaan ini
mengindikasikan bahwa perubahan kekuatan belajar asosiatif pada setiap
percobaan adalah fungsi dari perbedaan
antara belajar yang maksimum dengan jumlah yang telah dipelajari pada saat
akhir dari percobaan sebelumnya.
Teori Rescorla-Wagner memiliki kelebihan karena bisa pula menghitung temuan anomalous dalam pengkondisian klasik.
Kontingensi, Bukan Kontiguitas
Dalam artikelnya yang
berpengaruh, “Pavlovian Conditioning: It’s Not What You Think”, Rescorla (1988)
menyajikan tiga observasi tentang pengkondisian Pavlovian dan menjelaskan arti
pentingnya dalam psikologi modern.
Pertama, seperti Egger
dan Miller (1962, 1963) dia mengatakan pada dasarnya ada korelasi antara US dan
CS yang lebih dari sekadar kebetulan atau kontiguitas. Misalnya, satu situasi
dimana hewan mengalami US acak selama periode lebih panjang. Mungkin ada kejadian
ketika US dan CS terjadi bersama-sama (kontiguitas) dan ketika mereka terjadi
secara sendiri-sendiri. Kedua situasi tersebut terjadi bersama-sama dalam jumlah waktu yang sama. Ternyata situasi yang kedua adalah yang menghasilkan
pengkondisian klasik yang lebih kuat, sedangkan kondisi pertama hanya
menghasilkan pengkondisian yang lemah. Jelas, kontiguitas tidaklah cukup.
Rescorla menggunakan kontigensi (contingency)
untuk mendeskripsikan hubungan dimana CS menghasilkan petunjuk yang jelas dan
informatif untuk US. Kedua, seperti Zener (1937), Rescorla (1988) mengatakan
bahwa klaim umum bahwa CR adalah “miniatur” atau “ringkasan” dari UR adalah
klaim yang terlalu menyederhanakan atau bahkan tidak tepat. Respons
tipikal untuk suatu US berupa setrum listrik
dalam eksperimen, misalnya, adalah peningkatan aktivitas atau beberapa respons
yang mengejutkan. Akan tetapi, seperti terlihat dalam fenomena pengekangan yang
dikondisikan di atas, jika CS yang dipakai untuk memberi isyarat setrum
diberikan selama performa dari respons yang berbeda , hasilnya adalah penurunan
aktivitas. CR dapat berupa beberapa respons yang berbeda-beda, bergantung pada
konteks dimana CS terjadi.
Rescorla memberikan
penjelasan yang mirip dengan yang diberikan oleh Egger dan Miller (1962, 1963).
Keduanya mengatakan bahwa agar pengkondisian terjadi, CS haruslah informatif;
yakni, ia harus memberi organisme informasi yang berguna tentang US. Tetapi,
Rescorla (1988) memperluas karya Egger dan Miller dengan menunjukkan bahwa
kontigensi negative adalah sama informatifnya dengan kontigensi positif.
Menurut Rescorla, hanya prosedur control acaklah yang akan menghasilkan
hubungan non-informatif antara CS dan US dan karenanya tidak menghasilkan
pengkondisian.
Terakhir, Rescorla
(1988) mengklaim bahwa pengkondisian Pavlovian lebih dari sekadar belajar
refleks dan bahwa pengkondisian itu menduduki tempat penting dalam psikologi
kontemporer. Dia menegaskan bahwa penekanannya pada kontigensi, bukan
kontiguitas saja, mengungkapkan informasi baru dan penting tentang sifat dari
proses belajar asosiatif.
VIII. Irelevansi,
Hambatan Laten dan Superconditioning
Setidaknya ada tiga fenomena yang menghadirkan
masalah bagi teori Rescorla-Wagner, namun mereka mudah dijelaskan oleh
pendekatan Mackintosh atau Kamin/Wagner. Semua efek ini melibatkan
pra-penghadiran CS sebelum memperkenalkan kontingensi positif (eksitasi) antara
CS dan US. Rescorla (1996) menggunakan kondisi kontrol yang benar-benar acak dimana
CS dan US terjadi namun tidak ada kontingensi diantara keduanya. Jika CS yang
pertama kali dipakai dalam kondisi acak kemudian dipasangkan dalam hubungan
kontingensi dengan US, pengkondisian akan cacat. Learned irrelevance (irelevansi
yang dipelajari) adalah hilangnya keampuhan atau kemampuan CS yang dipakai
dalam kondisi kontrol acak (Mackintosh,1973). Ini adalah problem bagi teori
Rescorla-Wagner sebab menurut teori ini pra-penghadapan ke CS seharusnya tidak
memberikan efek pada pengkondisian.
Laten inhibition effect (efek hambatan laten) terjadi ketika pra-pemaparan
suatu CS (dengan tanpa US) memperlambat pengkondisian ketika CS dan US kemudian
dipasangkan (misalnya, Baker & Mackintosh, 1997 ; Best &
Gemberling,1977 ; Fenwick, Mikulka, & Klein, 1975 ; Lubow & Moore,1959).
Dalam perluasan atas gagasan persaingan untuk merebut perhatian seperti
dikemukakan oleh Mackintosh, Moore dan Stickeny (1980) menunjukkan bahwa,
meskipun tidak terjadi penguatan selama
pra-pemaparan US, masih ada persaingan untuk atensi di antara stimuli. Stimuli-stimuli
itu lebih menonjol dan diperhatikan, sedangkan CS kehilangan kemenonjolannya
dan karenanya berkurang efektifitasnya. Jadi, hambatan laten, seperti blocking,
dijelaskan oleh Mackintosh sebagai proses belajar yang dilakukan organisme
untuk memperhatikan stimuli prediktif dan mengabaikan informasi yang berlebihan
atau tidak relevan.
Pengkondisian sebagai Formasi Ekspektasi. Robert Bolles (1972, 1979) menunjukkan bahwa organisme
tidak mempelajari respons baru selama pengkondisian. Sebaliknya, organisme
melakukan reaksi spesies-spesifik yang sesuai dengan situasi. Menurut Bolles, apa yang dipelajari organisme
adalah ekspektasi yang membimbing perilaku yang belum dipelajari oleh mereka.
Suatu ekspektasi stimulus akan terbentuk ketika CS dikorelasikan dengan hasil
penting seperti ada tidaknya US. Organisme juga belajar ekspektasi respons,
yang merupakan hubungan prediktif antara respons dan hasil. Menurut Bolles,
penguatan tidak memperkuat perilaku ; ia memperkuat ekspektasi bahwa respons
tertentu akan diikuti oleh suatu penguat.
Dalam beberapa bagian di atas dijelaskan bahwa
prinsip yang mengatur pengkondisian klasik masih diperdebatkan. Hal tersebut
masih menjadi riset, teori, dan diskusi saat ini dan tampaknya ini akan terus
berlanjut. Ketimbang berusaha menentukan penjelasan pengkondisian klasik mana
yang benar, tampaknya lebih akurat untuk menyimpulkan bahwa semua penjelasan
itu menjelaskan secara akurat beberapa aspek dari pengkondisian klasik.
Tampaknya masuk akal bagi kita untuk menyimpulkan bahwa ketika semua keterangan
sudah dipaparkan, aspek-aspek dari pengkondisian klasik akan tampak bergantung
pada daya prediksi dari petunjuk, proses memori, pembentukan ekspektasi, proses
atensional, dan formasi asosiasi otomatis ketika ada hubungan kontingen antara
CS dan US.
IX.
Efek Garcia
Garcia dan Koelling
(1966) memvalidasi penjelasan aversi cita rasa anekdotal ini dengan menunjukkan
fenomena yang tidak lazim dalam pengkondisian klasik. Garcia dan Koelling
menghadapkan satu kelompok tikus dengan
sinar X yang kuat saat tikus itu minum air yang diberi pemanis sakarin(CS). Sinar X itu
menyebabkan rasa mual saelama sekitar 30 menit setelah pemaparan. Kelompok
tikus lain menerima setrum yang menyakitkan saat mereka minum air manis itu.
Dalam tes selanjutnya, tikus di kelompok pertama tidak mau minum air manis itu.
Tetapi, tikus yang disetrum tidak menghindari air manis. Garcia dan Koelling
menyimpulkan bahwa tikus yang menjadi sakit karena terkena sinar X telah
mempelajari aversi kepada aroma atau cita rasa
(taste) yang diasosiasikan dengan rasa sakit, sebuah respons natural
yang kondusif bagi survival mereka.
Meskipun eksperimen Garcia dan Koelling
tampaknya men gikuti prosedur pengkondisian klasik, namun muncul sejumlah
masalah saat hasilnya diinterpretasikan sebagai fenomena pengkondisian klasik.
Pertama, delay waktu antara CS (rasa sakarin) dan US (mual) jauh lebih lama
ketimbang interval waktu yang dianggap dibutuhkan untuk pengkondisian klasik.
Kedua, berulang kali ditemukan bahwa aversi cita rasa (taste) yang kuat dapay
muncul hanya setelah beberapa kali (kadang hanya sekali) penyandingan substansi
dan rasa mual. Ketiga, meski aversi cita rasa ini berkembang lama setelah
penundaan (delay) dan, dalam beberapa kasus hanya dalam satu kali percobaan,
tindak aversi itu sulit dihilangkan. Efek yang diamati oleh Garscia dan
Koelling ini adalah tidak lazim jika dibandingkan denagan apa yang telah
diketahui dari pengkondisian klasik.
X.
Eksperimen John B. Watson dengan Little
Albert
Menurut Watson,
emosi manusia adalah produk dari warisan
dan pengalaman. Menurut Watson, manusia mewarisi tiga emosi dasar yaitu rasa takut, marah, dan cinta.
Melalui proses pengkondisian, tiga emosi
dasar ini menjadi terikat dengan hal-hal yang berbeda untuk orang-orang yang
berbeda-beda. Personalitas (kepribadian) adalah kumpulan refleks yang
dikondisikan. Watson menyangkal bahwa manusia lahir dengan membawa kemampuan
mental atau predisposisi. Pada
eksperimennya, Watson dan Rosalie Rayner (1920) melakukan percobaan pada bayi
berusia sebelas bulan bernama Albert. Dari eksperimen yang dilakukan oleh
Watson, didapatkan beberapa hasil, yaitu Menghilangkan rasa takut yang dikondisikan. Watson telah
menunjukkan bahwa emosi bawaan, seperti rasa takut, dapat “ditransfer” ke stimuli yang sebelumya tidak menimbulkan rasa takut,
dan mekanisme transfer itu adalah pengkondisian klasik. Watson berpendapat bahwa risetnya telah menunjukkan
bagaimana rasa takut yang dipelajari itu bisa berkembang. Pada eksperimen
keduanya, Ia mencari anak yang sudah punya rasa takut dan kemudian diusahakan
untuk menghilangkan rasa takutnya.
Watson banyak memperkenalkan teori
pavlov (psikologi Pavlovian) ke Amerika Serikat, dia tidak pernah sepenuhnya
menerima prinsip Pavlovian. Menurut Watson, belajar terjadi karena
kejadian-kejadian datang susul-menyusul dalam rentang waktu yang sangat pendek.
Pengkondisian terjadi bukan karena US menguatkan CS, namun karena CS dan US
terjadi secara susul menyusul dalam jarak waktu yang singkat.
XI.
Aplikasi Pengkondisian Klasik untuk
Psikologis Klinis dan Pengobatannya
Penerapan
teori pengkondisian klasik untuk psikologis klinis, sebagai berikut :
1. Extinction
Gangguan perilaku atau
kebiasaan buruk adalah hasil dari belajar, maka perilaku itu bisa dibuang atau
diganti dengan perilaku yang lebih positif.
Proses Extinction :
CS – US – CR
CS – EX (Pelenyapan)
Maksud keterangan di
atas adalah suatu subjek (CS) yang diberikan efek fisiologis/psikologis (US)
akan menimbulkan efek yang dikondisikan. Menelaah perlakuan tersebut,
pelenyapan dapat ditimbul apabila efek fisiologis/psikologis (US) dihilangkan.
2. Counterconditioning
Counterconditioning
merupakan suatu prosedur yang lebih kuat daripada cara pelenyapan sederhana,
seperti extinction. Pada aplikasi
ini, suatu perlakuan dikondisikan untuk proses pelenyapan yang tampak sukses
dalam sejumlah kasus tetapi manfaat dari prosedur ini sering hanya bersifat
sementara.
Penjelasan Perlakuan :
CS – US pertama – US
kedua – CR
Pada akhirnya,
counterconditioning mengalami kesulitan yang sama dengan training
plenyapan.Counterconditioning pada kondisi yang berbeda akan menyebabkan
pembentukan kembali respons yang dikondisikan.
3. Flooding
Pada aplikasi ini
merupakan metode pelenyapan yang berorientasi pada pemaksaan orgainisme untuk
tetap hadir bersama CS dalam waktu yang cukup lama untuk belajar bahwa tidak
ada akibat negatif yang akan muncul. Dengan prosedur flooding, beberapa individu akan mengalami kemajuan tetapi beberapa
yang lain malah tambah parah. Dan klien yang meninggalkan terapi flooding
jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan klien yang menggunakan terapi
desensitisasi sistematis.
4. Desensitisasi
Sistematis
Salah satu usaha paling
menyeluruh untuk mengaplikasikan prinsip pengkondisian klasik ke psikoterapi
dilakukan oleh Joseph Wolpe (1958), yang mengembangkan teknik terapi yang
disebut desensitisasi sistematis). Teknik ini memiliki tiga fase, antara lain :
1. Hierarki
Kecemasan (Anxiety Hierarchy)
Dilakukan dengan
sederetan hal yang menimbulkan dan kemudian mengurutkan mulai dari hal
menimbulkan kecemasan paling besar ke paling kecil.
2. Mengajari
klien untuk relaks (santai)
Wolpe mengajari subjek
cara mengendorkan otot dan menunjukkan bagaimana rasanyaseseorang tidak cemas.
3. Perasaan
relaksasi dan kemudian diminta membayangkan item paling lemah dalam hierarki
kecemasan. Saat membayangkannya, si klien diminta untuk relaksasi lagi. Setelah
selesai, klien diminta untuk membayangkan item selanjutnya dan seterusnya
sampai semua item selesai dibayangkan.
Penerapan
teori pengkondisian klasik untuk pengobatan adalah sebagai berikut :
1.
Adanya
bidang psikoneuroimunologi
Riset yang dilakukan
oleh Metalnikov dengan menggunakan babi sebagai subjek. Metalnikov memasangkan
stimuli panas atau rabaan (CS) dengan protein asing (US). Beberapa kali
penyandingan CS dan US, presentasi stimuli panas atau sentuhan saja akan
menimbulkan berbagai respons immune nonspesifik. Sayangnya, riset ini sedikit
diabaikan tetapi Robert Ader dan kawnanya membangkitkan kembali minat pada
topik ini hingga menemukan bidang interdisipliner.
2.
Penemuan
fungsi sakarin
Ader yang mempelajari
aversi cita rasa dengan memasangkan minuman sakarin (CS) dengan injeki obat
(US). Obat ini ternyata menekan system kekebalan. Hingga percobaan dilakukan
pada tikus oleh Ader dan Cohen. Percobaan itu menyimpulkan bahwa sakarin
mempunyai kemampuan untuk menekan system kekebalan tuhuh dengan cara spesifik.
Dengan
adanya temuan keberfungsian pengkondisina klasik untuk pengobatan, banyak ahli
psikoneuronologi berharap bisa menjelaskan secara detail bagaimana
pengkondisian dapat membantu pasien yang mengalami gangguan kekebalan tubuh di
masa mendatang.
XII. Pendapat
Pavlov tentang Pendidikan
Prinsip Pavlovion sulit untuk diaplikasikan ke
pendidikan kelas, meskipun prinsip itu ada. Secara umum, teori pengkondisian
klasik ini terjadi pada setiap kejadian netral. Misalnya, seorang peserta didik
yang menemukan bahwa konselor sekolahnya memiliki sikap dan perilaku yang baik
dan menyenangkan bagi dirinya. Maka, ia akan termotivasi untuk memiliki sikap
seperti gurunya ataupun dia dapat terilhami untuk berkarier menjadi seorang
konselor nantinya. Hal ini selaras dengan seseorang yang mengembangkan aversi
terhadap pendidikan seumur hidup karena adanya pengalaman buruk yang ia alami
pada saat belajar di kelas dahulu.
Teknik Pavlovion dipakai untuk memnodifikasi
perilaku, situasi tampak menyerupai brainwashing
daripada pendidikan. Contoh dari prinsip Pavlovion yang digunakan untuk
memodifikasi sikap adalah iklan televisi. Pengiklanan menyandingkan suatu objek
dengan sesuatu yang lain. Secara bertahap, iklan itu akan menyebabkan pemirsa
menganggap produk itu membuat mereka untuk memiliki atau merasakan situasi yang
ditampilkan di iklan.
XIII. Evaluasi
Teori Ivan Petrovich Pavlov
XIV.I. Kontribusi
1.
Teori
Conditional Classic menjadi teori pertama yang mambahas tentang belajar
antisipasi
Pembahasannya mengenai
CS sebagai sinyal adalah unik apabila dibandingkan dengan teoritisi belajar
lain yang memperlakukan stimuli sebagai kejadian kausal dalam koneksi S-R
sebagi penguat.
2.
Memberikan
kontibusi yang cukup besar pada prosedur eksperimen untuk bidang psikologi
Hal ini bisa penulis telaah dari teori pengkondisian
klasik yang dapat diaplikasikan untuk psikologis klinis dan pengobatannya.
Selain itu, pada dasarnya teori ini memang mendasarkan kajian dan risetnya pada
sikap dan perilaku yang sangat berkaitan dengan keadaan jiwa seseorang.
XIV.II. Kritik
1. Tidak adanya penjelasan belajar
yang melibatkan proses mental yang kompleks.
Pembahasan
pada teori ini hanya mencangkup dalam suatu kondisi yang bersyarat untuk
merubah respons (perilaku objek).
2. Teori ini menganggap bahwa belajar
hanyalah terjadi secara otomatis, keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya
Dalam
proses belajar, repons dari objek penelitian merupakan refleks-refleks yang
terjadi setelah adanya proses conditioning.
3. Peranan latihan/kebiasaan terlalu
ditonjolkan.
Pada
realitanya, bertindak dan berbuat sesuatu, manusia tidak semata-mata bergantung
pada pengaruh dari luar. Aku dan pribadinya sendiri memegang peranan dalam
memilih dan menentukan perbuatan serta reaksi apa yang dilakukannya.
4.
Teori
conditioning classic memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan
binatang.
Sebagai contoh yakni
Metode respons bersyarat sering digunakan untuk melatih binatang. Untuk
mengajar anjing pemburu membawa burung tanpa memakannya, anjing itu disuruh
membawa burung tiruanyang dilekati penuh dengan jarum-jarum kecil. Anjing itu
segera belajar bahwa mngunyah burung berarti terasa sakit sedangkan dengan
hati-hati berarti disayangi dan mendapat makanan. Sejak itu dna seterusnya
anjing itu berhati-hati dnegan barung selanjutnya. Namun, pada manusia, teori
ini hanya dapat kita terima dalam hal-hal belajar tertentu saja, umpamanya dala
teori belajar mengenai skill tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak-anak
kecil.
BAB III
PENUTUP
1.
Simpulan
Teori Ivan Petrovich
Pavlov adalah suatu teori yang mampu memberikan sumbangsihnya pada bidang
psikologi, tak terlepas pada bidang bimbingan dan konseling. Banyak hasil
eksperimen yang dikemukakan oleh teori ini. Hasil teori Ivan Pavlov meliputi :
a. Prinsip
Utama yang mendasari percobaan Pavlov
b. Konsep
teoritis Pavlov yang menjadi landasan hingga sekarang untuk beberapa kondisi
c. Dan
beberapa hasil penelitian yang mampu mendobrak ilmu faal teraplikasi untuk
psikologi.
2.
Saran
Bagi Penulis :
a. Hendaknya
penulis mampu memberikan karya yang lebih baik pada kesempatan mendatang
b. Seharusnya
penulis mampu untuk berkolaborasi satu sama lain untuk menyatukan visi dan misi
dalam penyelesaian makalah ini
Bagi Pembaca :
a. Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
b. Pembaca
mampu mencapai tujuan penulis dalam penyusunan makalah ini.
Daftar Pustaka
Hergenhahn dan Matthew
H. Olson. 2008. Theoris Of Learnig (Teori
Belajar). Jakarta: Kencana
Mahmud, Dimyati. 1989. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Walgito, Bimo. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: ANDI
Yogyakarta
Learning Theories.com. 2011.
Classical Conditioning (Pavlov). (online) (http://www.learning-theories.com/classical-conditioning-pavlov.html), diakses 06 Maret 2011
Psikologi Zone. Teori Ivan
Petrovich Pavlov, Stimulus Respons (online) (http://www.psikologizone.com/teori-ivan-petrovich-pavlov-stimulus-respons), diakses 06 Maret 2011
Teknologi Pembelajaran. 2008.
Ivan P. Pavlov. (online) (http://www.ghina.0fees.net/index.php?option=com_content&view=article&id=5&Itemid=57), diakses 06 Maret 2011
0 komentar:
Posting Komentar